Ibnu Taimiyah :Allah terbagi dgn juz/organ, memiliki 6 batas, memiliki ukuran,Alam qodim

Sebelum membaca pendapat2 ibnu taemiyah di bawah ini, perhatikan bahwa Imam Fakħruddiin Ar-Raaziyy mengatakan:

الدليل دل على أن من قال إن الإله جسم فهو منكر للإله تعالى وذلك لأن إله العالم موجود ليس بجسم ولا حال في الجسم فإذا أنكر المجسم هذا الموجود فقد  أنكر ذات الإله تعالى فالخلاف بين المجسم والموحد ليس في الصفة بل في الذات فصح في المجسم أنه لا يؤمن بالله

Bukti-bukti menunjukkan bahwa orang yang mengatakan Allah adalah jisim/fisik,maka lakikatnya ia ingkar terhadap keberadaan Allah itu  sendiri. Alasannya karena tuhan semesta  itu ada, dan bukan merupakan fisik atau diposisikan dalam jisim. oleh karena itu , jika orang  mengatakan Allah itu adalah jisim maka ia menyangkal eksistensi yang bukan jisim,maka dia telah mengingkari keberadaan Allah itu sendiri………Adalah benar  bahwa orang yang mengatakan  Allah adalah jisim,ia tidak beriman kepada Allah . (Mafaatiiĥ Al-Ghayb, 16/24)

Demikian pula, Al-Qurţubiyy dalam tafsir Al-Qur’an beliau meriwayatkan dari Syaikh Ibnu Al-Arabiyy mengenai mereka yang mengatakan Allah  jisim/fisik:

الصحيح القول بتكفيرهم, إذ لا فرق بينهم وبين عباد الأصنام والصور

Pendapat yang soheh adalah kafirnya mereka [orang yang meyakini Allah jisim dan tersususn dari organ] , karena tidak ada perbedaan antara mereka dan orang yang menyembah berhala dan gambar  . (Tafsiir Al-Qurţubiyy, 4/14)
Salah satu panutan sekte Wahabi yang di panggil dgn “SyaikhuIslam,”  BERKATA DALAM kitab karyanya yang berjudul Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah , di mana isi kandungan kitab itu  adalah kritik terhadap argumen Imam Fakħruddiin Ar-Raaziyy yang menjelaskan kerancuan aqidah antropomorfisme.:
[Ar-Fakħruddiin Raaziyy berkata,] “jika Dia (Allah) terbagi , maka Dia tersusun dari juz”, dan telah saya tunjukkan ketidak validan klaim ini di pembahasan sebelumnya ) ….”
[Ibnu Taimiyah menuliskan perkataan tsbt,dan menjawabnya:] “Sebaliknya,jawaban atas penamaan murokab:tersusun” jelas ini bukanlah hujjah sama sekali atas tidak mungkinnya hal itu ( yakni Allah tdk terbagi] karena memustahilkan adanya ketersusunan sesuatu yang ada,ini sama dgn menafikan keberadaan setiap yang ada [wujud],
Perhatikan apa yang dikatakannya, Dia mengatakan bahwa jika sesuatu yang ada dan tidak terbagi dalam beberapa juz, maka itu sama dgn menafikan keberadaannya [tidak bisa eksis] begitu juga Allah”. Ia menegaskan keyakinannya bahwa Allah itu memang terbagi dgn susunan juz-juz.baca ini: filsafat ketuhanan taemiyah  dan ini:  Allah jisim
Ibnu Taimiyah mengatakan Allah memiliki 6 batas, salah satunya adalah berdekatan dengan Arsh
Ibnu Taimiyah mengatakan:

فهذا القول الوسط من أقوال القاضي الثلاثة هو المطابق لكلام أحمد وغيره من الأئمة وقد قال إنه تعالى في جهة مخصوصة وليس هو ذاهبا في الجهات بل هو خارج العالم متميز عن خلقه منفصل عنهم غير داخل في كل الجهات وهذا معنى قول أحمد ” حد لا يعلمه إلا هو “ولو كان مراد أحمد رحمه الله الحد من جهة العرش فقط لكان ذلك معلوما لعباده فانهم قد عرفوا أن حده من هذه الجهة هو العرش فعلم أن الحد الذي لا يعلمونه مطلق لا يختص بجهة العرش

Ini ADALAH pendapat yang moderat di antara ketiga perkataan Al-Qaađii Abuu Yalaa yang selaras denagan perkataan Imam Ahmad dan yang lainnya dari para imaam. sungguh ia [ Ahmad ibn Hanbal] -“dan ini adalah sebuah kebohongan, Imam Ahmad beraqidah seperti imam2 yang lain”,tapi ini adalah masalah lain]”, telah menyatakan: “Allah ada dalam arah tertentu, dan Dia tidak menyebar di segala arah. Sebaliknya, Dia berada di luar alam,  terpish dari ciptaan-Nya, dan Dia tidak dalam segala arah ” dan makna perkataan Imam Ahmad adalah DIa memiliki batas yang hanya Dia yang mengtahuinya “Jika maksud Imam Ahmad  adalah batas deri arah Arsy saja, maka ini akan diketahui oleh hamba2 Allah, karena mereka tahu bahwa batas Allah adalah arah arsy itu saja.,  kemudian kita maklum bahwa batas yang tidak di ketahui itu mutlak tanpa pengecualian, dan tidak ditentukan dgn arah arsy saja (Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah, 1/438)
Catatan dari pernyataannya ini adalah : Pertama dia mengklaim bahwa”Allah berada dalam arah tertentu,”dan  menurutnya batas Allah yang diketahui dari arah arsyNya .”.Kemudian dengan perkataanya: “Ia tidak menyebar dalam segala arah,” ia menegaskan bahwa Allah memiliki batas dalam setiap arah, yaitu atas, kiri, kanan, belakang dan depan, tapi tidak diketahui di mana batasNya.
Ibnu Taimiyah mengatakan Allah memiliki ukuran
Ibnu Taimiyah mengatakan:

فأما كون الشيء غير موصوف بالزيادة والنقصان ولا بعدم ذلك وهو موجود وليس بذي قدر فهذا لا يعقل

: Adapun adanya sesuatu yang ada tetapi tidak di sifati dgn bertambah dan berkurang, dan tidak di ketahui hal itu, namun hal itu ada dan tidak punya ukuran – ini adalah hal yang mustahil (Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah, 3/146).
Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada, termasuk Sang Pencipta, harus memiliki ukuran. kemudian Menurut Ibnu Taimiyah , Allah memiliki ukuran dibatasi oleh enam batas .
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tindakan Allah dalam menciptakan itu seperti tindakan mahluk dgn berubah dalam cakupan waktu
Sunni meyakini bahwa Allah menciptakan dengan PowerNya tanpa  perubahan atau tercakup waktu. karena apa pun yang berubah berarti pembaharuan dan hal pembaharuan memiliki awal permulaan dan pasti membutuhkan pencipta, Dengan demikian, jika mengklaim bahwa tindakan Allah memiliki awal itu menyiratkan bahwa tindakan-Nya membutuhkan dicipta oleh tindakan lain, dan tindakan lain ini pun membutuhkan tindakan lain, dan seterusnya. Ini berarti bahwa rangkaian tindakan perlu diselesaikan sebelum adanya membuat sesuatu[semesta] , dan ini tidak mungkin, karena rangkaian ke belakang tidak dapat diselesaikan.
An-Nasafiyy mengatakan:
“Kaum Karraamiyyah (pra-Ibnu Taimiyah/anthropomorphists) semua mengklaim bahwa tindakan Allah mencipta adalah sebuah  peristiwa dalam diriNya dengan MIemiliki awal,dgn muncul tindakanNya lalu tiada,muncul tiada….dst dan bahwa peristiwa waktu melewati Allah. Allah maha suci dari sifat yang tdk layak yang di sandarkan kepada-Nya (Tabşiratu-l-Adillah, 141) . “
Ibnu Taimiyah, mengatakan:

وتبين أنه لا يمكن حدوث شيء من الحوادث إلا عن فاعل يفعل شيئا بعد شيء …. “وقال:” الفعل لا يعقل ولا يمكن إلا شيئا فشيئا …

:Penjelasan bahwa tidak ada sesuatu yang ada dan menjadi ada kecuali dari  adanya yang mengerjakan sesuatu itu (Sang Pencipta), yang melakukan sesuatu satu demi satu,setahap demi setahap ” :” mengerjakan [al fi’lu] itu tidak mungkin kecuali setahap demi setahap (Aş-Şafadiyyah, 2/141. )
Dengan kata lain, menurut Ibnu Taimiyah, tindakan menciptakan itu  muncul dalam diri Allah, setelah sebelumnya tidak ada dst, seperti tindakan kita muncul dan tiada, muncul tiada dst,Ini adalah keyakinan menyimpang, seperti yang disebutkan di atas.baca juga penjelasan ini:  Apakah Allah berubah setelah mencipta ciptaan Ibnu Taimiyah mengatakan  ciptaan itu kekal, dan Allah memiliki pilihan, tetapi harus terus menciptakan sesuatu,Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ALAM ITU abadi, KARENA ALLAH ABADI dan Allah tidak memiliki pilihan KECUALI MESTI MENCIPTAKANNYA…
TAPI ”SEORANG Muslim percaya bahwa Allah tidak perlu dan tidak dipaksa untuk APA PUN, DAN SAMA SEKALI TIDAK diwajibkan untuk mencipta”
Berdasarkan idenya bahwa tindakan Allah itu memiliki awal, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Allah selalu melakukan satu tindakan mencipta satu demi satu (yaitu menciptakanNya) tanpa permulaan[qodim]. Dia mengatakan:

وحينئذ فالذي هو من لوازم ذاته نوع الفعل لا فعل معين ولا مفعول معين فلا يكون في العالم شيء قديم وحينئذ لا يكون في الأزل مؤثرا تاما في شيء من العالم ولكن لم يزل مؤثرا تاما في شيء بعد شيء وكل أثر يوجد عند حصول كمال التأثير فيه.

Ini adalah dari kelaziman/KEHARUSAN dzatNya adalah adanya kebutuhan untuk slalu ;bertindak[fi’lu], tetapi bukan tindakan khusus ,dan bukan sesuatu yang dilakukan secara khusus, sehingga tidak ada objek alam yang kekal , dan tidak ada yang azali dari sesuatu ciptaan ada secara sempurna   dari alam ini, tetapi Dia selalu  mencipta sesuatu menjadi (ada), satu demi satu dari azali… (Aş-Şafadiyyah, 2/97)

Perhatikan bahwa pernyataannya; “Ini adalah keharusan Allah untuk bertindak, tetapi bukan tindakan khusus,” berarti Allah tidak memiliki pilihan KECUALI mesti menciptakan sesuatu. Ini adalah anggapan cacat kepada Sang Pencipta,  Semua Muslim harus percaya bahwa Allah tidak perlu, dan tidak dipaksa untuk, atau diwajibkan untuk mencipta sama sekali.
Perhatikan PERKATAAN IBNU TAEMIYAH SEBELUM ini, ia MENGATAKAN tentang ADANYA SESUATU MESTI TERDIRI DARI JISIM,atau ATRIBUT JISIM / tubuh, OLEH SEBAB ITU, ia percaya BAHWA SEMUA YANG ADA ADALAH JISIM / MATERI. KEMUDIAN MASIH Menurut IBNU TAEMIYAH : Allah adalah satu-satunya DZAT yang kekal DI antara serangkaian LAIN YANG kekal, DIA TERPAKSA MESTI MENCIPTA SESUATU YANG lain UNTUK-NYA, WALAU BAGAIMANA PUN, jenis YANG DIA CIPTAKAN ITU adalah pilihan-Nya. Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa dunia(sesuatu selain Allah) adalah kekal, karena DZAT ALLAH ABADI, MAKA terpaksa ALLAH menciptakan sesuatu yang lain UNTUK TEMPAT-NYA,KARENA ALLAH KEKAL MAKA Dia terdorong untuk menciptakan sesuatu atau yang lain pun kekal.
Apa SEORANG Muslim percaya HAL INI ??, di sisi lain bahwa Allah Pencipta segala sesuatu, dan bahwa Dia tidak perlu menciptakan sesuatu, karena Dia tidak membutuhkan apa-apa,dan tidak wajib melakukan apa-apa. Dengan kata lain, bukan suatu keharusan bagi Allah untuk bertindak, membuat apa pun. Hal ini karena Allah sempurna, dan karena itu tidak perlu melakukan apapun.
TETAPI BAGAIMANA PUN Ibnu Taimiyah, tidak menerima FAKTA ini, BUKTINYA IA MEMBANTAH pernyataan Ibn Hazm:

وأعجب من ذلك حكايته الإجماع على كفر من نازع أنه سبحانه “. لم يزل وحده, ولا شيء غيره معه, ثم خلق الأشياء كما شاء (نقد مراتب الإجماع,

:”TIDAK ADA YANG lebih aneh dari klaimnya (Ibn Hazm’) bahwa konsensus PARA ULAMA menyatakan kafir TERHADAP ORANG YANG tidak percaya bahwa “ALLAH adalaH satu-satunya yang KEKAL keberadaanNYA,dan tak ada yang KEKAL SELAIN DIA, DAN DIA menciptakan segala sesuatu DGN KEHENDAKNYA (-Naqd Maraatibi l-‘Ijmaa, 303)

Ini adalah usaha Ibnu Taemiyah untuk menyembunyikan kekufuran dari para pengikutnya….!!

Tentang masalah ini,kita lihat perkataan Ibnu Hajar Al-Asqalaaniyy :

قال شيخنا في شرح الترمذي: الصحيح في تكفير منكر الإجماع تقييده بإنكار ما يعلم وجوبه من الدين بالضرورة كالصلوات الخمس, ومنهم من عبر بإنكار ما علم وجوبه بالتواتر ومنه القول بحدوث العالم, وقد حكى عياض وغيره الإجماع على تكفير من يقول بقدم العالم, وقال ابن دقيق العيد: وقع هنا من يدعي الحذق في المعقولات ويميل إلى الفلسفة فظن أن المخالف في حدوث العالم لا يكفر لأنه من قبيل مخالفة الإجماع, وتمسك بقولنا إن منكر الإجماع لا يكفر على الإطلاق حتى يثبت النقل بذلك متواترا عن صاحب الشرع, قال وهو تمسك ساقط إما عن عمى في البصيرة أو تعام لأن حدوث العالم من قبيل ما اجتمع فيه الإجماع

:Syaikh kami menjelaskan dalam syarh At-Tirmidħiyy,ia berkata, “pendapat yang soheh adalah kafirnya orang yang mengingkari ijma….. . dan telah  meriwayatkan Al-Qaađii Iiaađ dan yang lainnya bahwa orang yang menyatakan bahwa alam (apa pun selain Allah) itu kekal,maka ia kafir (non-muslim) dengan konsensus[ijma] ulama” Dan telah berkata Ibnu Daqiiq Al-IIID :”  telah terjadi hal ini dari seseorang yang mengaku menguasai hal intelektual,  tetapi condong ke arah Filsafat, ia berpendapat bahwa yang menyalahi ijma hudus [tdk kekalnya] alam, itu tidak di hukumi kafir ……. dan ini adalah pendapat dari kebutaan mata hati, atau berpura-pura buta, karena pendapat bahwa alam memiliki awal adalah salah satu hal yang ditetapkan oleh konsensus ilmiah [ijma] dan telah (mutawaatir) dari dalil naqli  (Fathu-l-Baarii, 12/202)
Referensi:
Aş-Şafadiyyah. Ahmad Ibnu Taimiyah (728 H) Al-Ĥarraaniyy. Mesir: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1406.
Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah. -. Makkah: Al-Maţbaah Ĥukuumah, 1392.
Fathu-l-Baarii Sħarĥu Şaĥiiĥi-l-Bukħaariyy. Ibnu Hajar Al-Asqalaaniyy.Beirut, Lebanon: Dar Al-Marefah, 1379.
Jaamiu Aĥkaami-l-Qur’an. Al-Qurţubiyy (671 H), Sħasuddiin. Ed. Hisyam Samiir Al-Bukħaariyy. Riyadh, Arab Saudi: Daar Aalam Al-Kutub, 1423.
Mafaatiiĥ Al-Ghayb. FakħrudDiin Al-Raaziy. Beirut, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 1421.
Naqd Maraatibi-l-‘  Ahmad Ibnu Taimiyah (728 H) Al-Ĥarraaniyy. Beirut, Lebanon: Daar Ibnu Hazm, 1419.

Tabşiratu-l-Adillah. Abu-l-Muiin An-Nasafiyy. Ed. Dr Huseyin Atay. Turki: Riāsat al-Shuūn al-Diniiyah lil-Jumhūrīyah al-Turkīyah, 1993.